PPDB 2025/2026: Jurang Janji Akses dan Realitas Pendidikan di Bekasi
RUANG BERSUARA, BEKASI – Setiap Juli, drama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali menyedot perhatian. Di Bekasi, Jawa Barat, PPDB Tahun Ajaran 2025/2026 bukan sekadar rutinitas, melainkan cermin telanjang ketidaksetaraan dan janji akses pendidikan yang masih compang-camping di lapangan. Mekanisme yang seharusnya menjamin pemerataan, nyatanya masih menampakkan celah dan ketimpangan yang meresahkan.
Secara teoritis, PPDB dengan segala jalurnya—zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan tugas—adalah blueprint ideal untuk mereduksi diskriminasi. Tujuannya mulia: memastikan setiap anak mendapatkan haknya mengenyam pendidikan negeri, dekat dari rumah, tanpa terhambat status sosial. Klaim keberhasilan bahwa ribuan siswa telah terserap ke SD dan SMP di Bekasi via jalur ini, memang tak terbantahkan. Namun, angka-angka itu tak bisa menutupi realitas pahit di baliknya.
Zonasi: Fatamorgana Dekatnya Akses
Kebijakan zonasi, yang digadang-gadang sebagai solusi pemerataan, di Bekasi seringkali berubah menjadi fatamorgana. Di kota dan kabupaten yang tumbuh padat tanpa perencanaan sekolah yang memadai, zonasi justru memicu kecurangan dan frustrasi.
Fakta Pahit Lapangan:
- Permainan Jarak: Bukan rahasia lagi, banyak orang tua merasakan zonasi tak adil. Sistem yang kaku, terkadang hanya mengandalkan perhitungan garis lurus via Google Maps atau batasan administratif kelurahan, justru meminggirkan mereka yang secara kasat mata tinggal lebih dekat. Siswa yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari gerbang sekolah incaran, bisa terlempar karena beda RT atau RW dengan “zona prioritas”. Ini memicu praktik manipulasi KK atau “numpang nama” di kartu keluarga kerabat, sebuah praktik ilegal yang merusak integritas sistem.
- Kapasitas Tak Imbang: Di kantong-kantong permukiman padat Bekasi, jumlah sekolah negeri tak sebanding dengan ledakan populasi siswa. Zonasi, alih-alih meratakan, malah mengkonsentrasikan persaingan di sekolah-sekolah yang terbatas. Efeknya, sekolah yang tadinya “biasa saja” kini mendadak kebanjiran peminat, memaksa orang tua berjudi dengan nasib anaknya.
Verifikasi Data: Gerbang Kecurangan yang Menganga
Meskipun Dukcapil dilibatkan, integritas data PPDB masih rapuh. Kecurangan dokumen, terutama Kartu Keluarga palsu atau modifikasi data domisili, terus menjadi momok.
Fakta Pahit Lapangan:
- KK Bodong dan Sakti: Laporan mengenai KK yang baru dicetak beberapa bulan sebelum PPDB, atau anak yang tiba-tiba “pindah” ke KK paman atau bibi yang rumahnya bersebelahan dengan sekolah idaman, adalah rahasia umum. Verifikasi yang kurang mendalam atau jumlah petugas yang terbatas, membuat praktik licik ini sulit diberantas tuntas. Ini menciptakan ketidakadilan bagi calon siswa yang jujur.
- Minim Sanksi Tegas: Ketiadaan sanksi yang cukup berat dan implementasi yang tegas bagi pelaku manipulasi data, semakin membuka lebar gerbang kecurangan. Praktik ini seolah “dinormalisasi” karena risikonya rendah.
Jurang Kesenjangan SMA/SMK: Bom Waktu Pendidikan
Di jenjang SMA dan SMK negeri, krisis daya tampung mencapai puncaknya. Ini adalah “bom waktu” pendidikan yang setiap tahun meledak dan selalu gagal diatasi.
Fakta Pahit Lapangan:
- Lulusan vs. Kursi: Jumlah lulusan SMP di Bekasi jauh melampaui ketersediaan kursi di SMA/SMK negeri. Ribuan siswa terpaksa gigit jari dan memilih sekolah swasta. Bagi keluarga ekonomi pas-pasan, ini adalah pukulan telak. Subsidi pemerintah yang ada tak selalu cukup menutupi tingginya biaya sekolah swasta.
- Distribusi Tak Merata: Sebaran SMA/SMK negeri di Bekasi sangat tidak adil. Beberapa wilayah nyaris tidak memiliki SMA/SMK negeri, sementara populasi remajanya tinggi. Ini memaksa siswa menempuh jarak yang jauh atau terpaksa masuk swasta, yang seringkali berarti pilihan terakhir, bukan pilihan ideal.
Melampaui Sekadar Prosedur: Mencari Keadilan Substantif
Dinamika PPDB di Bekasi bukan hanya masalah teknis, melainkan potret kegagalan sistemik. Ini menuntut evaluasi yang lebih dari sekadar statistik penerimaan siswa.
Pemerintah daerah tidak bisa lagi menunda integrasi perencanaan tata ruang dan pembangunan sekolah. Pembangunan fasilitas pendidikan harus menjadi prioritas mutlak di area-area padat penduduk yang saat ini kekurangan sekolah. Lebih dari itu, sistem verifikasi harus diperketat, mungkin dengan melibatkan komunitas lokal atau RT/RW secara lebih aktif, dengan sanksi tegas bagi pelaku manipulasi.
Terakhir, pemerintah harus mengakui bahwa peran sekolah swasta tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Jika kapasitas negeri terbatas, maka skema insentif atau subsidi yang lebih komprehensif bagi sekolah swasta berkualitas harus dirumuskan, agar mereka bisa menjadi alternatif yang terjangkau dan berkualitas, bukan sekadar pelabuhan terakhir bagi mereka yang gagal di negeri.
PPDB bukan sekadar pengisian kuota. Ini adalah pertaruhan atas masa depan generasi muda. Tanpa perbaikan fundamental dan keberanian menghadapi realitas, janji akses pendidikan yang setara di Bekasi akan tetap menjadi ilusi.