Aku Korban, Bukan Aib: Mengakhiri Pembungkaman Suara Penyintas

Ilustrasi (Rekayasa gambar menggunakan kecerdasan buatan (AI) Copilot oleh Rendi Restu)

RUANG BERSUARA – Pelecehan seksual adalah luka yang menghantui, tidak hanya meninggalkan jejak pahit pada raga dan jiwa penyintas, tetapi juga menciptakan stigma sosial yang seringkali lebih membelenggu. Di tengah upaya kolektif melawan kekerasan seksual, banyak suara penyintas yang masih dibungkam, terperangkap dalam cengkeraman rasa malu dan ketakutan. Mereka, para penyintas, seringkali dipaksa memikul beban aib yang seharusnya menjadi milik pelaku, bukan mereka.

Ironisnya, alih-alih mendapatkan dukungan dan perlindungan, penyintas kerap dihadapkan pada budaya victim blaming yang mengakar kuat di masyarakat kita. Frasa usang seperti “pakaiannya terlalu terbuka,” “dia yang menggoda,” atau “kenapa keluar malam-malam?” adalah refleksi dari pola pikir keliru yang menimpakan tanggung jawab insiden pada korban, alih-alih pada pihak yang seharusnya disalahkan pelaku.

Paradigma inilah yang menjadi akar pembungkaman, membuat penyintas enggan bersuara karena khawatir akan penghakiman dan tudingan balik. Mereka tahu, ketika mereka mencoba membuka diri, bukan uluran tangan yang menyambut, melainkan rentetan pertanyaan yang meragukan integritas dan kebenaran cerita mereka.

Proses hukum, yang seharusnya menjadi benteng pelindung bagi penyintas, seringkali berubah menjadi arena di mana suara mereka kembali diredam. Prosedur yang berbelit-belit, pertanyaan yang tidak sensitif, dan kurangnya pemahaman aparat penegak hukum tentang trauma yang dialami penyintas, kerap membuat mereka merasa dihakimi dua kali.

Tekanan dari lingkungan sekitar, bahkan dari lingkaran terdekat seperti keluarga, yang mengkhawatirkan “aib” yang terkuak atau dampak sosial lainnya, semakin memperparah kondisi ini. Semua faktor ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus: penyintas memilih bungkam karena takut, dan kebungkaman itu pada akhirnya mengukuhkan impunitas bagi para pelaku.

Sudah saatnya kita semua mengubah narasi ini. Pelecehan seksual bukanlah aib bagi penyintas, melainkan aib bagi pelakunya dan bagi masyarakat yang gagal melindungi. Kita wajib menciptakan ruang yang aman bagi penyintas untuk berbicara, bebas dari rasa takut dihakimi, disalahkan, atau direndahkan. Ini berarti membangun sistem dukungan yang komprehensif, mulai dari lingkungan keluarga, pertemanan, tempat kerja, hingga institusi hukum dan layanan kesehatan.

Pemerintah dan lembaga terkait harus memastikan bahwa mekanisme pelaporan dan penanganan kasus pelecehan seksual bersifat sensitif gender dan berpihak pada penyintas. Aparat penegak hukum perlu dibekali dengan pelatihan khusus untuk memahami psikologi penyintas dan cara berkomunikasi yang empatik. Dukungan psikologis dan medis pasca-kejadian juga harus mudah diakses dan diberikan secara gratis.

Namun, perubahan paling mendasar harus dimulai dari diri kita sendiri. Mari kita hentikan kebiasaan menyalahkan penyintas. Mari kita mulai mempercayai setiap cerita yang muncul dari para penyintas, tanpa perlu ragu atau curiga. Mari kita menjadi telinga yang mendengarkan, bahu untuk bersandar, dan tangan yang siap membantu. Dengan begitu, kita bisa membantu para penyintas menemukan kembali suara mereka, bersuara lantang, dan menyatakan dengan tegas: “Aku Korban, Bukan Aib!”

Ketika kita semua berdiri bersama, mendukung para penyintas, dan menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku, barulah kita dapat berharap untuk membangun masyarakat yang lebih aman, adil, dan bebas dari kekerasan seksual.