Ketika Bekasi Punya ‘Raja Bongkar’, Antara Ketegasan Aturan dan Dilema Kemanusiaan
RUANG BERSUARA – Sejak dilantik pada 20 Februari 2025 sebagai Bupati Bekasi termuda, nama Ade Kuswara Kunang langsung melekat dengan julukan “Si Raja Bongkar.” Julukan yang disematkan oleh Gubernur Jawa Barat sebelumnya, Dedi Mulyadi, ini bukan tanpa dasar. Ia merefleksikan ketegasan dan keberaniannya dalam menertibkan ribuan bangunan liar (Bangli) yang selama ini menjadi permasalahan akut di Kabupaten Bekasi, khususnya di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun, sejauh mana ketegasan ini mampu berjalan beriringan dengan keadilan dan solusi bagi masyarakat terdampak di lapangan?
Misi Penertiban Demi Tata Kota dan Fungsi Lahan
Di berbagai kesempatan, Ade Kuswara Kunang telah menunjukkan komitmen kuat untuk menata kembali wajah Bekasi. Penertiban bangli bukan sekadar penggusuran. Ini adalah upaya krusial untuk mengembalikan fungsi lahan milik negara yang telah diduduki secara ilegal selama bertahun-tahun. Fokus utama adalah menertibkan bangunan di atas DAS yang seringkali menjadi pemicu banjir dan menghambat proyek infrastruktur vital.
Langkah ini patut diapresiasi dari sudut pandang penegakan hukum dan tata kota. Keberadaan bangli tidak hanya merusak estetika, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah lingkungan, seperti penyempitan sungai, gangguan aliran air, dan potensi bencana. Dengan menargetkan lebih dari 100 titik pembongkaran yang diperkirakan melibatkan ribuan bangunan, pemerintah Kabupaten Bekasi menunjukkan keseriusan dalam membenahi wilayahnya.
Setelah bangli dibongkar, pemerintah memiliki rencana untuk revitalisasi dan penataan ulang. Area-area yang dulunya kumuh di bibir sungai kini bisa diubah menjadi ruang publik yang lebih fungsional.
Tantangan Lapangan: Tanpa Kompensasi, Akankah Tetap Humanis?
Kendati demikian, implementasi kebijakan “Raja Bongkar” ini di lapangan menghadirkan tantangan kompleks. Bupati Ade Kuswara Kunang secara tegas menyatakan tidak akan ada kompensasi bagi pemilik bangunan liar yang dibongkar, dengan alasan mereka telah melanggar hukum karena mendirikan bangunan di atas tanah negara. Penegasan ini, meski berlandaskan hukum, tentu menimbulkan dilema besar bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya di lokasi tersebut.
Pemerintah mengklaim telah melakukan pendekatan humanis dan edukatif dengan memberikan imbauan dan teguran agar pemilik membongkar sendiri bangunannya. Namun, realitas di lapangan bisa jadi berbeda. Bagi warga kecil yang tidak memiliki aset atau mata pencarian lain, penggusuran tanpa kompensasi bisa berarti kehilangan segalanya dan semakin termarjinalkan.
Suara-suara dari DPRD Kabupaten Bekasi pun turut mewarnai diskursus ini. Anggota dewan mendukung penertiban, namun mereka menekankan pentingnya keadilan dan prinsip tidak tebang pilih. Artinya, penertiban tidak boleh hanya menyasar rakyat kecil, tetapi juga harus berani menertibkan bangli milik pengusaha besar atau pabrik yang melanggar aturan. Selain itu, DPRD juga menyoroti belum adanya kejelasan mengenai anggaran dan rencana pemanfaatan lahan pasca-pembongkaran.
Mewujudkan Bekasi yang Tertata dan Berkeadilan
Ade Kuswara Kunang sebagai pemimpin termuda memiliki peluang besar untuk meninggalkan warisan positif bagi Bekasi. Julukan “Si Raja Bongkar” adalah simbol kemauan politik yang kuat dalam menegakkan aturan demi masa depan kota. Namun, kekuatan ini harus diimbangi dengan kebijaksanaan dan empati yang mendalam terhadap setiap lapisan masyarakat.
Keberhasilan program penataan wilayah tidak hanya diukur dari seberapa banyak bangunan yang dibongkar, tetapi juga dari seberapa baik pemerintah mampu mengelola dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Perlu ada komunikasi yang transparan, rencana pasca-penertiban yang jelas, dan solusi konkret bagi warga terdampak, bukan hanya janji.
Jika pemerintah Kabupaten Bekasi mampu mengawal keberlanjutan program penataan, memastikan tidak ada lagi bangli yang muncul, dan sekaligus menghadirkan solusi yang berkeadilan bagi seluruh warganya, maka julukan “Si Raja Bongkar” akan dikenang bukan hanya sebagai pemimpin yang tegas, tetapi juga sebagai arsitek Bekasi yang lebih tertata, bersih, dan inklusif bagi semua.