Misteri di Balik Pemisahan Pemilu DPRD: Manuver Politik Berkedok Efisiensi Demokrasi?

Ilustrasi (Rekayasa gambar menggunakan kecerdasan buatan (AI) Copilot oleh Rendi Restu)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal Pemilu DPRD dari Pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) mulai 2029 adalah sebuah gebrakan. Di satu sisi, MK berdalih ini adalah jawaban atas “pemilu serentak” lima kotak suara yang melelahkan, mematikan petugas, dan membingungkan rakyat. Janji efisiensi dan kualitas partisipasi pemilih digembor-gemborkan. Namun, di balik narasi mulia ini, tercium aroma manuver politik yang jauh lebih licik ketimbang sekadar perbaikan demokrasi.

MK mengklaim pemisahan ini akan membuat pemilih lebih cerdas dalam memilih anggota dewan, karena tidak lagi terpecah fokusnya dengan hiruk-pikuk Pilpres. Logikanya, jika Pilpres pada 2029 dan Pemilu DPRD baru bersamaan dengan Pilkada pada 2031, rakyat bisa lebih dalam menelaah rekam jejak caleg daerah. Ini terdengar idealis. Tapi, mari kita jujur, seberapa sering idealismenya politik kita berjalan mulus?

Kecurigaan terbesar muncul dari implikasi perpanjangan masa jabatan bagi ribuan anggota DPRD dan kepala daerah. Mereka yang seharusnya purna tugas pada 2029 kini mendapat “hadiah” jabatan tambahan dua tahun. Ini bukan sekadar jeda transisi, tapi potensi perpanjangan kekuasaan tanpa kontestasi. Dalam arena politik Indonesia yang haus kekuasaan, dua tahun adalah waktu yang sangat berharga untuk konsolidasi kekuatan, membangun basis patron, atau bahkan mengamankan posisi jelang pemilu berikutnya tanpa perlu keringat ekstra.

Pertanyaan krusial bukan lagi apakah putusan ini baik atau buruk, melainkan untuk siapa putusan ini dibuat? Apakah ini murni upaya “membersihkan” demokrasi dari beban teknis, atau justru sebuah langkah strategis untuk menata ulang konfigurasi kekuatan politik pasca-2024? Apakah ini jaminan lahirnya anggota DPRD yang lebih fokus dan berkualitas, atau hanya memberikan mereka “napas panjang” untuk kepentingan pribadi dan kelompok? Sejarah mencatat, setiap perubahan besar dalam sistem pemilu seringkali diwarnai agenda terselubung.

Jalan ke depan akan diwarnai perdebatan sengit revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Ini adalah medan perang baru di mana lobi-lobi politik dan tawar-menawar kepentingan akan terjadi di balik pintu tertutup. Kita tidak boleh naif. Transparansi dan partisipasi publik mutlak diperlukan, bukan sebagai hiasan, melainkan sebagai tameng. Jangan sampai semangat perbaikan demokrasi yang digaungkan MK justru menjadi kedok bagi konsolidasi kekuasaan atau pembentukan dinasti politik baru.

Masyarakat harus lebih tajam. Kita perlu mengawal setiap pasal yang dirumuskan, setiap lobi yang terjadi. Apakah pemisahan pemilu ini benar-benar akan melahirkan politisi daerah yang melayani rakyat, atau hanya memperpanjang napas para pertahanan yang sudah nyaman? Demokrasi yang sehat tidak hanya butuh putusan hukum yang visioner, tetapi juga komitmen politik yang jujur dan, yang terpenting, mata elang publik yang tidak pernah lelah mengawasi.