Ancaman Demokrasi: Matinya Daya Kritis Organisasi Mahasiswa
RUANG BERSUARA – Dulu, organisasi mahasiswa eksternal adalah pilar utama yang mengawal kebijakan publik dan menjadi suara kritis bagi rakyat. Namun, belakangan ini, muncul dugaan kuat bahwa gairah dan daya kritis mereka mulai meredup, bahkan terkesan lebih manut terhadap pemerintah. Fenomena ini bukan sekadar pergeseran, melainkan sebuah ancaman serius bagi demokrasi kita.
Secara historis, organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan lainnya, selalu berada di garda terdepan dalam setiap perubahan sosial dan politik di Indonesia. Ingatlah peristiwa 1966, 1974, hingga puncaknya Reformasi 1998, peran mereka tak terbantahkan.
Mereka adalah motor penggerak, penyambung lidah rakyat, dan penekan kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Keberanian mereka seringkali diuji, bahkan berhadapan langsung dengan represi kekuasaan.
Namun, di era digital dan polarisasi politik yang kian tajam ini, gaung protes dan kritik dari organisasi mahasiswa eksternal terasa makin sayup.
Aksi demonstrasi massal yang dulu rutin memenuhi jalanan, kini menjadi pemandangan langka. Pun jika ada, skala dan dampaknya tidak sebesar dulu. Banyak pihak mengamati adanya pergeseran fokus, dari isu-isu makro kenegaraan ke isu-isu yang lebih mikro atau bahkan aktivitas yang terkesan politik.
Ada beberapa dugaan yang melatarbelakangi fenomena ini. Pertama, kuatnya intervensi pihak luar, termasuk pemerintah, melalui berbagai program atau bantuan finansial. Tak bisa dimungkiri, pendanaan seringkali menjadi celah masuknya pengaruh. Ketika organisasi mahasiswa mulai tergantung pada uluran tangan pihak tertentu, independensi dan keberanian mereka dalam bersuara akan terkikis. Potensi “balas budi” dalam bentuk dukungan, atau setidaknya keheningan, menjadi sebuah keniscayaan.
Kedua, kooptasi politik juga menjadi faktor krusial. Banyak alumni organisasi mahasiswa yang kini menduduki posisi strategis di pemerintahan atau partai politik. Kondisi ini, dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan dilema moral bagi anggota aktif. Rasa segan, sungkan, atau bahkan harapan untuk “meniti karier” serupa, bisa menjadi penghalang bagi munculnya kritik tajam. Lingkungan politik yang semakin akomodatif terhadap aktivis, meskipun di satu sisi positif, di sisi lain juga bisa menjadi alat untuk meredam potensi perlawanan.
Ketiga, pergeseran paradigma aktivisme di kalangan mahasiswa itu sendiri. Generasi Z dan Alpha memiliki cara pandang yang berbeda dalam memaknai aktivisme. Media sosial menjadi arena baru, namun seringkali terhenti pada “aktivisme jari” tanpa tindak lanjut konkret di lapangan. Isu-isu lingkungan, gender, atau inklusivitas menjadi lebih dominan—yang tentu saja penting—namun isu-isu fundamental terkait korupsi, hak asasi manusia, atau kebijakan ekonomi yang tidak adil, seolah terpinggirkan.
Keempat, fragmentasi internal dan minimnya kaderisasi yang kuat. Kurangnya regenerasi kepemimpinan yang berintegritas dan berwawasan luas, bisa membuat organisasi kehilangan arah dan daya dobraknya. Perdebatan internal yang berkepanjangan atau perebutan kekuasaan, acapkali menguras energi yang seharusnya dialokasikan untuk mengawal isu-isu publik.
Matinya daya kritis organisasi mahasiswa eksternal adalah kerugian besar bagi demokrasi. Ketika suara kritis dari elemen sipil ini meredup, pengawasan terhadap kekuasaan menjadi timpang.
Pemerintah kehilangan “rem” dan “penyeimbang” yang seharusnya ada. Oleh karena itu, penting bagi organisasi mahasiswa untuk melakukan introspeksi mendalam. Kembali pada khitah perjuangan, menumbuhkan kembali independensi sejati, dan berani bersuara demi kepentingan rakyat, adalah satu-satunya jalan untuk kembali menjadi mercusuar perubahan. Tanpa itu, mereka hanya akan menjadi ornamen tanpa makna, yang akhirnya terlindas roda sejarah.