Siapa Di Balik Kebijakan Publik? Transparansi dan Kepentingan dalam Pemerintahan
Jakarta, Essensi.co – Setiap kebijakan publik yang lahir dari pemerintah seharusnya berlandaskan pada kepentingan rakyat. Namun, muncul pertanyaan besar yang masih kerap menggema di tengah masyarakat: siapa sebenarnya yang berada di balik perumusan kebijakan publik? Apakah benar demi rakyat, atau demi kelompok tertentu?
Proses Perumusan yang Belum Transparan
Meski Indonesia telah menerapkan sistem demokrasi selama lebih dari dua dekade, banyak kebijakan masih disusun melalui proses yang tertutup dan minim partisipasi publik.
Forum konsultasi publik seringkali bersifat formalitas, dengan draf kebijakan yang tidak terbuka untuk dikritisi masyarakat secara luas.
“Banyak keputusan strategis diambil tanpa diskusi terbuka. Masyarakat baru tahu saat kebijakan sudah ditetapkan,” ujar Lely Diana, peneliti di Indonesian Policy Institute.
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sejatinya memberi ruang agar dokumen-dokumen kebijakan bisa diakses. Namun realitanya, akses terhadap data dan dokumen publik masih terbatas dan rumit.
Berbagai analis menilai bahwa kebijakan publik seringkali dipengaruhi oleh aktor non-formal yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik.
Mereka berada di balik layar dari lobi industri besar, jaringan partai politik, hingga kelompok oligarki yang punya akses langsung ke pengambil kebijakan.
Contohnya, dalam pembahasan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, investigasi oleh berbagai media menemukan keterlibatan perusahaan tambang besar dan asosiasi pengusaha dalam memberikan masukan dan tekanan terhadap substansi undang-undang.
“Kebijakan seharusnya untuk rakyat banyak, tapi faktanya lebih sering ‘dibentuk’ oleh segelintir elit dengan kepentingan ekonominya,” tegas Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM.
Ketika kepentingan kelompok elit lebih dominan, maka kebijakan yang dihasilkan cenderung memperbesar ketimpangan sosial. Masyarakat kecil kerap menjadi objek kebijakan—seperti penggusuran, relokasi, atau perubahan status tanah—tanpa diberikan perlindungan atau alternatif yang layak.
Salah satu contoh nyata adalah pembangunan berbagai proyek strategis nasional (PSN) yang kerap menuai protes warga karena dianggap mengabaikan hak-hak dasar masyarakat lokal, dari penggusuran tanpa ganti rugi layak hingga pencemaran lingkungan.
Para pengamat dan aktivis menggarisbawahi bahwa transparansi dan partisipasi publik adalah kunci untuk memastikan kebijakan benar-benar mewakili kepentingan umum. Beberapa langkah yang disarankan.
Keterbukaan dokumen kebijakan sejak tahap perencanaan, Forum konsultasi publik yang inklusif dan substantif, Penguatan peran media dan masyarakat sipil dalam pengawasan dan Pencegahan konflik kepentingan dalam birokrasi dan legislatif.
“Rakyat harus tahu siapa yang menyusun, siapa yang memberi masukan, dan siapa yang diuntungkan dari setiap kebijakan. Hanya dengan itu kita bisa bicara soal pemerintahan yang adil dan bersih,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.