Etika yang Tergelincir di Ruang Akademik

Ilustrasi pelecehan seksual di kampus. (nadya/tirto.id).

ESSENSI.CO, RUANG BERSUARA – Ruang akademik seharusnya menjadi tempat tumbuhnya intelektualitas, etika, dan martabat manusia. Namun, idealisme itu terasa pudar ketika bahasa yang digunakan oleh sebagian pengajar justru mencederai nilai-nilai pendidikan itu sendiri.

Sebagai mahasiswa di kampus dengan slogan ‘MEGAH’, saya cukup sering mendengar kata “TOGE”, atau belakangan diganti dengan istilah “TOBRUT”, diucapkan secara terbuka oleh seorang dosen bahkan oleh sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi. Kata tersebut bukan hanya bernuansa candaan internal, tetapi memiliki konotasi yang tidak pantas diucapkan dalam konteks ruang akademik.

Sebagian orang mungkin menanggapinya sebagai “selingan” atau “humor khas kelas.” Namun bagi banyak mahasiswa, termasuk saya, istilah itu terasa tidak sopan, merendahkan, dan tidak relevan dengan proses belajar mengajar di ruang kuliah. Terlebih, ucapan tersebut datang dari seorang pendidik yang seharusnya menjadi teladan dalam berbahasa dan berperilaku.

Yang lebih disayangkan, fenomena seperti ini sering kali dinormalisasi oleh pihak kampus. Ketika mahasiswa merasa risih dan memilih diam, pihak institusi justru tidak mengambil langkah untuk menegur atau memberi pembinaan. Seolah, selama tidak ada laporan resmi, semuanya dianggap “baik-baik saja.”

Padahal, kode etik dosen dan mahasiswa menegaskan pentingnya sikap saling menghormati di ruang akademik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa dosen wajib menjunjung tinggi martabat profesinya dan tidak boleh melakukan tindakan atau ucapan yang merendahkan orang lain.

Ruang kelas bukanlah tempat untuk candaan yang bersifat seksis, sarkastik, atau berpotensi melecehkan. Normalisasi bahasa yang tidak pantas hanya akan menciptakan kultur akademik yang tumpul secara moral. Kampus seharusnya menjadi pelopor peradaban etis, bukan ruang toleransi terhadap kekasaran verbal.

Sebagai mahasiswa, kami tidak menuntut kesempurnaan dari dosen. Kami hanya berharap agar ruang kuliah tetap menjadi tempat yang aman, beretika, dan fokus pada pembentukan karakter serta ilmu pengetahuan.

Kata “TOGE” atau “TOBRUT” mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang, tetapi dampaknya pada rasa nyaman dan wibawa ruang akademik sangat besar. Di era ketika kampus berbicara tentang integritas, human dignity, dan safe learning environment, seharusnya tidak ada lagi ruang untuk bahasa yang melecehkan, sekecil apa pun bentuknya.

Menjadi akademisi berarti menjaga tutur kata. Sebab di balik setiap ucapan dosen, ada nilai-nilai pendidikan yang seharusnya diteladani, bukan ditertawakan.