Penguatan Posyandu Integrasi Layanan Primer: Membangun Benteng Komunitas Melawan Krisis Penyakit Tidak Menular
ESSENSI.CO – Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes melitus, dan stroke, kini bukan lagi sekedar ancaman kesehatan, melainkan telah menjadi krisis ketahanan nasional yang menggerogoti usia produktif dan membebani anggaran negara.
Data epidemiologi menunjukkan, tren PTM terus meningkat, sebagian besar terdeteksi saat sudah parah, yang berujung pada biaya perawatan mahal di rumah sakit. Di Indonesia penyebab utama kematian adalah PTM dengan proporsi sebesar 73% dari total kematian (WHO, 2023).
Menyikapi hal tersebut pemerintah telah menetapkan strategi kunci melalui Transformasi Layanan Primer, menempatkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sebagai ujung tombak dan garda terdepan di tingkat komunitas. Posyandu kini bertransformasi menjadi Integrasi Layanan Primer (ILP) yang tidak hanya melayani ibu dan anak, tetapi juga fokus pada skrining dan edukasi PTM bagi seluruh siklus hidup dari remaja hingga lansia.
Namun, mengandalkan kebijakan pemerintah saja tidak cukup. Salah satu kunci keberhasilan terletak pada pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Idealnya Posyandu yang kuat adalah Posyandu yang dimiliki, dikelola, dan didanai oleh masyarakat, bukan hanya sekadar perpanjangan tangan Puskesmas.
Analisis kebijakan menunjukkan bahwa meskipun Posyandu ILP adalah langkah strategis yang tepat, implementasinya di lapangan masih menghadapi hambatan serius, terutama pada aspek pemberdayaan. Beberapa permasalahan yang masih ditemui antara lain adanya kesenjangan kapasitas kader dari aktifitas timbang balita ke skrining PTM.
Pada pengelolaan posyandu, kader merupakan salah satu aktor kunci dalam keberhasilan program yang telah ditetapkan. Namun, pelatihan yang mereka terima seringkali tidak memadai untuk layanan PTM yang lebih kompleks.
Seorang kader kini dituntut mampu melakukan skrining risiko PTM, menganalisis data sederhana, hingga memberikan konseling perubahan perilaku seperti pola diet, olahraga, dan upaya berhenti merokok.
Permasalahannya adalah bahwa pelatihan kader masih one-off (sekali jalan) dan tidak terstandardisasi secara khusus untuk kompetensi PTM. Ini menyebabkan kualitas layanan PTM yang diberikan di Posyandu tidak merata.
Masalah lainnya adalah ketidakberlanjutan pendanaan operasional yang memadai. Sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat, posyandu idealnya didukung kuat oleh sumber daya lokal. Faktanya, operasional Posyandu, termasuk insentif kader PTM, sering kali bergantung pada uluran tangan Puskesmas atau anggaran daerah yang fluktuatif. Kebijakan terkait pendanaan khususnya dari alokasi Dana Desa sudah ditetapkan namun belum secara eksplisit mewajibkan porsi anggaran yang signifikan dan berkelanjutan untuk penguatan Posyandu ILP, terutama untuk PTM. Pemberdayaan akan mandek jika motor penggerak (kader) tidak dihargai secara layak.
Disisi lain data komunitas yang masih tersimpan di meja sementara pemberdayaan masyarakat harus berbasis bukti (data). Jika kader sudah lelah melakukan skrining PTM, tetapi data tersebut hanya berakhir di buku catatan manual, maka masyarakat tidak dapat melihat risiko kesehatan komunalnya sendiri. Masalah kebijakan dalam hal ini adalah kurangnya adopsi teknologi pencatatan yang sederhana dan terintegrasi (digitalisasi Posyandu) yang dapat menghambat umpan balik cepat yang dibutuhkan komunitas. Akibatnya, intervensi pencegahan PTM yang dilakukan masyarakat tidak didasarkan pada data epidemiologi lokal yang real-time.

Rekomendasi aksi yang dapat diimplementasikan yaitu menguatkan masyarakat dengan kebijakan nyata dan menggeser Posyandu dari sekadar “tempat layanan” menjadi “Benteng Ketahanan Kesehatan Komunitas” yang berdaya, maka diperlukan tiga langkah kebijakan yang actionable yaitu:
- Legalisasi Insentif Kader Berbasis Dana Desa melalui adanya Surat Edaran Bersama yang mengikat dengan menetapkan alokasi wajib minimum Dana Desa untuk dana operasional Posyandu ILP dan insentif kader PTM. Ini akan menjamin keberlanjutan motivasi kader sebagai motor utama pemberdayaan. Insentif yang layak adalah investasi, bukan biaya.
- Standarisasi dan Sertifikasi Kompetensi PTM secara berkala, dengan standar yang jelas, masyarakat akan percaya pada kualitas skrining dan konseling yang diberikan kader, sehingga meningkatkan partisipasi dalam program pencegahan PTM
- Adopsi Teknologi Sederhana (Smart Posyandu), dalam hal iniPemerintah harus memprioritaskan penyediaan dan pelatihan penggunaan platform pencatatan PTM yang sederhana (seperti ASIK) di setiap Posyandu ILP. Data ini kemudian wajib digunakan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa. Dengan data PTM yang terdigitalkan, masyarakat desa/kelurahan dapat memutuskan sendiri, intervensi apa yang paling mendesak di komunitas mereka (misalnya, membuat kawasan bebas rokok atau program senam bersama di lingkungan yang teridentifikasi berisiko tinggi).
Kesimpulannya adalah bahwa dalam mewujudkan ketahanan kesehatan masyarakat melawan PTM tidak akan tercapai hanya dengan membangun rumah sakit besar, tetapi dengan menguatkan pondasi di tingkat akar rumput. Dalam hal ini pemberdayaan masyarakat adalah kunci utama.
Dengan dukungan kebijakan yang menjamin pendanaan berkelanjutan, peningkatan kapasitas kader yang terstandardisasi, dan pemanfaatan data lokal untuk pengambilan keputusan, maka Posyandu ILP akan bertransformasi dari sekadar pos pelayanan menjadi lembaga pemberdayaan yang mandiri dan resilien.
Inilah salah satu cara untuk memastikan bahwa ancaman PTM tidak hanya dicegah, tetapi juga ditanggulangi oleh kekuatan kolektif masyarakat. Dengan demikian kunci keberhasilan bukan sekadar kebijakan pemerintah, melainkan pemberdayaan masyarakat seutuhnya melalui posyandu mandiri sebagai lembaga milik komunitas.
Penulis: Afrina Ferawati Sitohang, S.K.M., M.K.M. (Mahasiswa S3 Ilmu Kesehatan Masayarakat Universitas Indonesia Praktisi Kesehatan Masyarakat)




