Pejuang atau Pedagang? Aktivis Bekasi di Persimpangan Moral
ESSENSI.CO, RUANG BERSUARA – Di Bekasi, nama “pemuda”, “mahasiswa”, dan “masyarakat” kerap dikibarkan seolah menjadi panji suci perjuangan. Sayangnya, banyak dari mereka ternyata hanya menukar idealisme dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
Spanduk dan orasi heroik sering kali hanya menjadi hiasan untuk menutup negosiasi dan transaksi politik di balik layar.
Fenomena yang lebih ironis, aksi jalanan bisa gagal hanya karena amplop atau roti. Betul, perjuangan yang konon untuk rakyat, bisa padam seketika ketika ada tawaran kecil untuk kenyamanan atau keuntungan sesaat.
Aktivis yang dulu menentang sistem kini sering menjadi bagian dari sistem itu sendiri, memastikan kursi kekuasaan tetap dinikmati oleh kelompok mereka.
Mereka berorasi lantang tentang keadilan, demokrasi, dan kepentingan publik, tapi di balik itu, yang diperjuangkan bukan rakyat, melainkan kepuasan pribadi dan penguatan jaringan elit lokal.
Semangat idealisme dijual murah, hanya untuk memastikan posisi, kursi, atau akses ke “bonus” politik berikutnya.
Publik Bekasi pantas bertanya, apakah ini aktivisme atau sekadar warung politik yang dikemas dengan jargon idealisme? Jika kita terus membiarkan aksi dijadikan alat tawar-menawar, aspirasi rakyat akan selalu kalah dengan ambisi individu.
Sudah waktunya menuntut aktivis yang benar-benar berjuang tanpa pamrih, yang tidak tergoda amplop, roti, atau janji kursi. Karena sejatinya, idealisme tidak boleh dijadikan komoditas, dan perjuangan sejati tidak bisa dipinjamkan untuk kepentingan pribadi.
Bekasi butuh aktivis pejuang nilai, bukan pedagang pengaruh yang piawai bermain di panggung publik tapi menari sesuai irama kepentingan sendiri.
(Sebuah Nama)




