Krisis Senyap yang Mengintai Indonesia: Triple Burden of Malnutrition

ilustrasi Artificial Intelligence (AI)

ESSENSI.CO – Indonesia saat ini mengalami Triple Burden of Malnutrition, yaitu kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan defisiensi mikronutrien yang terjadi secara bersamaan di seluruh populasi. Meskipun telah dilakukan berbagai inisiatif kesehatan seperti Gerakan 1000 HPK, program kesehatan sekolah, dan kebijakan fortifikasi pangan, kemajuannya masih belum merata. Stunting masih berada di atas target global, kelebihan berat badan pada anak meningkat, dan anemia pada perempuan dan anak-anak masih meluas.

Tren gizi Indonesia telah berubah secara signifikan selama dua dekade terakhir. Pembangunan ekonomi telah meningkatkan ketersediaan pangan, namun malnutrisi tetap menjadi tantangan yang berkelanjutan. Menurut data SKI (Survei Kesehatan Indonesia) tahun 2023, prevalensi stunting, obesitas anak, dan defisiensi mikronutrien masih tinggi, menunjukkan krisis gizi yang kompleks dan saling tumpang tindih

Triple Burden of Malnutrition (kurang gizi, lebih gizi, dan defisiensi mikronutrien) muncul akibat disparitas sosial dan ekonomi, urbanisasi yang pesat, transisi pola makan, dan kesenjangan literasi gizi. Di daerah pedesaan, keluarga kesulitan mengakses makanan kaya gizi, yang menyebabkan malnutrisi kronis. Sebaliknya, rumah tangga perkotaan semakin banyak mengonsumsi makanan olahan ultra padat kalori, yang berkontribusi terhadap kelebihan berat badan dan obesitas pada anak-anak.

Masalah ini diperparah oleh defisiensi mikronutrien yang meluas, terutama anemia defisiensi besi di kalangan perempuan dan remaja. Konsekuensinya bersifat jangka Panjang yaitu gangguan perkembangan kognitif, penurunan pendidikan, beban penyakit yang lebih tinggi, dan produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah. Dampak-dampak ini secara langsung mengancam visi Indonesia Emas 2045.

Meskipun pemerintah telah meluncurkan beberapa inisiatif, termasuk revitalisasi Posyandu, fortifikasi pangan nasional, dan gerakan 1000 HPK namun kesenjangan implementasi masih tetap ada. Tantangannya meliputi pemantauan yang terbatas, koordinasi lintas sektor yang lemah, dan keterlibatan masyarakat yang tidak konsisten. Tanpa kebijakan yang terarah dan inovatif, Indonesia berisiko terus mengalami siklus buruknya kondisi gizi dan ketimpangan sosial ekonomi.

Malnutrisi berkaitan erat dengan kemiskinan, kerawanan pangan rumah tangga, dan ketimpangan regional. Makanan sehat seperti buah-buahan, ikan, dan protein rendah lemak seringkali lebih mahal daripada camilan padat kalori. Daerah pedesaan dan terpencil menghadapi rantai pasokan yang tidak stabil yang membatasi akses terhadap diversifikasi pangan. Anak-anak dan remaja mengonsumsi camilan tinggi gula, garam, dan lemak dalam jumlah berlebihan. “Transisi gizi” yang didorong oleh gaya hidup perkotaan mengakibatkan rendahnya aktivitas fisik dan ketergantungan yang tinggi pada makanan cepat saji.

Konsumsi sayur dan buah masih jauh di bawah rekomendasi WHO.  Anemia defisiensi besi tersebar luas di kalangan ibu hamil, remaja, dan anak-anak. Asupan makanan kaya zat besi yang terbatas dan kepatuhan yang rendah terhadap program suplementasi berkontribusi terhadap masalah ini. Defisiensi vitamin A, yodium, dan seng masih terjadi di wilayah tertentu.

Kebijakan yang ada seperti UKS, 1000 HPK, fortifikasi pangan, dan regulasi BPOM, dirancang dengan baik tetapi pelaksanaannya tidak konsisten. Kerangka kerja pemantauan terfragmentasi, dan kolaborasi lintas kementerian (Kesehatan, Pendidikan, Pertanian, Perindustrian, Perdagangan) masih lemah. Strategi perubahan perilaku masih belum terintegrasi secara memadai ke dalam program nasional.

Berdasarkan analisis tersebut, beberapa arah kebijakan strategis direkomendasikan untuk mengatasi Triple Burden of Malnutrition di Indonesia. Pertama, intervensi gizi berbasis sekolah harus diperkuat dengan mengintegrasikan perangkat pembelajaran interaktif yang dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap gizi anak.

Selain itu, lingkungan pangan sekolah memerlukan reformasi komprehensif melalui peraturan yang membatasi penjualan makanan tinggi gula dan tinggi lemak di sekitar sekolah, yang didukung oleh kemitraan dengan petani lokal untuk menyediakan pilihan camilan yang terjangkau dan bergizi.

Literasi gizi orang tua dan masyarakat juga harus ditingkatkan melalui program pendidikan berbasis masyarakat yang memanfaatkan platform digital dan materi yang relevan secara budaya. Selain itu, diperlukan peraturan yang lebih ketat terkait pemasaran makanan ultra process yang ditujukan untuk anak-anak. Terakhir, koordinasi lintas sektor yang lebih kuat sangat penting, untuk memastikan upaya terpadu di antara kementerian kesehatan, pendidikan, pertanian, dan industri untuk mengembangkan strategi nasional yang koheren dalam penanggulangan malnutrisi.

Secara keseluruhan, Triple Burden of Malnutrition menghadirkan tantangan serius bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.Menangani masalah ini membutuhkan pendekatan multisektoral berbasis bukti yang memadukan reformasi struktural dengan strategi perubahan perilaku. Implementasi kebijakan yang efektif, peningkatan literasi gizi, dan lingkungan pangan yang terstruktur sangat penting untuk menjamin generasi mendatang yang lebih sehat.

Penulis: Sri Untari (Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)