PPP Terbelah, Muktamar X Melahirkan Dualisme Kepemimpinan Antara Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto

Muktamar X PPP yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (27/9/2025) hingga Minggu (28/9/2025) melahirkan dualisme. Foto/Istimewa

ESSENSI.CO – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali diterpa konflik internal. Muktamar X yang berlangsung di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, pada Sabtu (27/9/2025) hingga Minggu (28/9/2025), tidak hanya diwarnai kericuhan berupa adu jotos antar kader dan lempar kursi, tetapi juga menghasilkan dualisme kepemimpinan.

Dalam forum tersebut, baik Muhamad Mardiono maupun Agus Suparmanto sama-sama mengklaim terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP periode 2025–2030.

Menanggapi hal itu, Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio, meminta kedua kubu untuk kembali mengingat tujuan utama partai.

“Masing-masing yang mengklaim itu harus mengerti tujuan awal. Tujuan awalnya kan mengembalikan kejayaan PPP, secara pragmatis ya lolos ke Senayan. Harusnya itu yang dijadikan dasar. Tapi memang parpol yang tidak punya tokoh sentral ya seperti ini,” ujar Hendri Satrio dikutip dari SindoNews, Selasa (30/9/2025).

Hendri yang akrab disapa Hensat menilai saling klaim justru merugikan PPP itu sendiri. Ia juga menyoroti kekurangan dari masing-masing kandidat.

“Kekurangan Mardiono dinilai gagal membawa PPP ke Senayan, bahkan dari 19 kursi menjadi nol. Sedangkan Agus Suparmanto dianggap sebagai figur ‘naturalisasi’ karena masuk dari luar PPP. Nah, tinggal dilihat saja aturannya, tujuannya mau bagaimana,” jelasnya.

Menurutnya, jalan terbaik adalah menggelar ulang muktamar dengan mekanisme pemilihan yang jelas.

“Kalau saya jadi Mardiono, sebagai incumbent harusnya percaya diri. Lawannya kan figur naturalisasi. Jadi lebih baik muktamar diulang dengan pemilihan yang sah, biar hasil akhirnya lebih legitimate,” tegas Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI itu.

Dengan cara tersebut, lanjut Hensat, PPP tidak perlu terjebak dalam sengketa hukum soal dualisme kepemimpinan.

“Yang penting jelas siapa pemegang suara sah, apakah DPW atau DPC yang diundang untuk memberikan suara. Kalau memang percaya diri, seharusnya berani menghadapi pemungutan suara. Tapi kalau sama-sama klaim aklamasi, itu terlihat seperti takut menghadapi pemilihan,” pungkasnya.