Tagar Boikot Trans7 Viral, Tayangan Xpose Dinilai Lecehkan Pesantren
Essensi.co – Gelombang kritik mengalir deras di media sosial setelah program Xpose Uncensored yang tayang di Trans7 menayangkan segmen yang dianggap melecehkan dunia pesantren. Tayangan tersebut memicu kemarahan warganet, terutama kalangan santri dan alumni pondok pesantren, hingga muncul tagar #BoikotTrans7 yang menjadi trending di platform X (sebelumnya Twitter).
Kontroversi bermula ketika salah satu episode Xpose menampilkan visual dan narasi yang dianggap tidak pantas, dengan konteks yang dinilai menstereotipkan santri. Banyak pengguna media sosial menilai tayangan itu melewati batas etika siaran dan merendahkan institusi pendidikan agama Islam yang memiliki peran penting dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Sejumlah tokoh pesantren dan aktivis keagamaan menyuarakan keberatan mereka, menilai Trans7 lalai dalam melakukan penyaringan konten. Kritik juga datang dari sejumlah lembaga pengawasan media yang menekankan pentingnya sensitivitas budaya dan agama dalam penyusunan program hiburan.
Menanggapi kecaman publik, Trans7 akhirnya menyampaikan permintaan maaf resmi melalui akun media sosial dan pernyataan tertulis.
“Kami meminta maaf atas tayangan program Xpose Uncensored yang menyinggung perasaan masyarakat, khususnya kalangan santri. Kami akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap isi program dan proses penyiaran,” tulis pihak Trans7.
Meski demikian, sebagian publik menilai permintaan maaf tersebut belum cukup. Mereka mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk turun tangan dan memberikan sanksi tegas agar kasus serupa tidak terulang.
Kasus ini kembali membuka perdebatan lama mengenai batas antara kebebasan berekspresi di media dan tanggung jawab etis lembaga penyiaran. Di tengah dinamika media modern yang kian kompetitif, sensitivitas terhadap nilai-nilai sosial, budaya, dan agama menjadi hal yang tak bisa diabaikan.
“Kreativitas memang penting, tapi empati dan etika dalam berkarya jauh lebih penting,” tulis seorang pengguna X yang banyak dibagikan ulang.
Peristiwa ini menambah deretan kasus di mana lembaga penyiaran harus berhadapan dengan publik akibat konten yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial masyarakat.
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber