Aturan Saja Tak Cukup: Menguatkan ASI Eksklusif Lewat Pendampingan dan Edukasi
ESSENSI.CO – Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi karena memenuhi kebutuhan gizi sekaligus melindungi dari berbagai penyakit, menurunkan risiko stunting dan kematian bayi, serta memberi manfaat jangka panjang bagi kesehatan dan kecerdasan anak maupun ibu.
Hingga kini, belum ada susu buatan yang mampu menandingi manfaat ASI. Meski demikian, menyusui tidak selalu mudah. Banyak ibu, terutama ibu memiliki anak pertama, menghadapi tantangan seperti bayi sulit menyusu, kelelahan, tekanan keluarga, hingga tuntutan kembali bekerja, sehingga imbauan ASI eksklusif enam bulan sering terasa ideal namun sulit diwujudkan.
Data menunjukkan hampir separuh ibu masih belum berhasil memberikan ASI eksklusif, dengan capaian yang belum merata antarwilayah. Rendahnya ASI eksklusif bukan semata karena kurangnya pengetahuan ibu, melainkan dipengaruhi faktor sosial dan lingkungan, seperti kepercayaan tradisional, promosi susu formula, lingkungan kerja yang belum ramah menyusui, serta terbatasnya dukungan keluarga dan tenaga kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa ASI eksklusif bukan hanya pilihan individu, melainkan persoalan kesehatan publik yang memerlukan peran aktif negara.
Agenda Setting: ASI Eksklusif sebagai Masalah Kesehatan Publik Pengakuan negara terhadap pentingnya ASI eksklusif tercermin dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. UU ini menegaskan bahwa setiap bayi berhak memperoleh ASI eksklusif selama enam bulan dan pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhannya. Dengan demikian, keberhasilan menyusui tidak lagi sepenuhnya dibebankan kepada ibu, tetapi menjadi tanggung jawab sistem kesehatan.
Policy Formulation:Mencari Solusi yang Lebih Membumi Dalam Permenkes RI No.12 Tahun 2025 tentang Renstra Kemenkes 2025–2029, ASI eksklusif ditempatkan sebagai strategi penting penurunan stunting, kematian bayi, dan penguatan layanan kesehatan primer.
Pendekatan kebijakan bergeser dari sekadar pengobatan ke pencegahan promotif preventif melalui edukasi, konseling, dan pendampingan ibu secara berkelanjutan sejak kehamilan hingga menyusui.
Berbagai bukti menunjukkan bahwa ibu yang didampingi secara konsisten memiliki peluang lebih besar berhasil memberikan ASI eksklusif, terutama bila didukung media edukasi yang sesuai dengan karakter ibu masa kini yang akrab dengan teknologi digital.
Policy Adoption:Menguatkan Aturan Teknis Arah kebijakan ini diperkuat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai peraturan pelaksana UU Kesehatan.
Pada pasal 24-48, mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan memberikan edukasi, konseling, dan pendampingan kepada ibu hamil dan menyusui, serta membatasi promosi susu formula.
Pendampingan ASI tidak lagi bersifat sukarela, tetapi menjadi bagian dari layanan kesehatan yang wajib diselenggarakan.
Policy Implementation:Menguatkan Pendampingan dengan Media yang Tepat Tantangan utama ASI eksklusif terletak pada pelaksanaannya. Edukasi menyusui masih sering singkat dan tidak berkelanjutan, sementara modul konseling dan kelas ibu hamil belum sepenuhnya mudah diakses.
Akibatnya, ibu masih menghadapi tekanan keluarga, minimnya dukungan tenaga kesehatan, serta lingkungan kerja yang belum ramah menyusui. Di sisi lain, edukasi berbasis website terbukti meningkatkan pengetahuan dan kepercayaan diri ibu, tetapi karena keterbatasan akses dan literasi digital, media visual sederhana seperti flipchart tetap dibutuhkan.
Kombinasi keduanya menjadi pendekatan inklusif yang mampu menjangkau ibu dari berbagai latar belakang.

Sumber: doc istimewa
Policy Evaluation: Mengukur Dampak dan Perbaikan Kebijakan
Keberhasilan kebijakan ASI eksklusif tidak cukup diukur dari jumlah penyuluhan, melainkan dampaknya, “apakah pengetahuan dan kepercayaan diri ibu meningkat, apakah sikap ibu positif terhadap menyusui eksklusif, apakah semakin banyak bayi mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan”.
Meski cakupan nasional meningkat, kesenjangan antarwilayah masih besar. Hal ini menegaskan perlunya perbaikan kebijakan, terutama dalam pelaksanaan dan inovasi promosi kesehatan, agar lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan nyata ibu.
Rekomendasi: Dari Aturan ke Aksi Nyata, Saatnya Negara Hadir Mendampingi Ibu Sudah saatnya kebijakan ASI eksklusif benar-benar bergerak dari aturan ke aksi nyata di lapangan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 telah memberikan mandat tegas bahwa negara wajib memastikan ibu mendapatkan edukasi, konseling, dan pendampingan menyusui yang terintegrasi sejak masa kehamilan hingga enam bulan pertama kehidupan bayi.
Tantangan utamanya kini bukan lagi pada ketiadaan regulasi, melainkan pada bagaimana kebijakan tersebut dijalankan secara konsisten dan bermakna bagi ibu.

Sumber: doc Komunitas Konselor Menyusui Indonesia (KKMI)
Kementerian Kesehatan perlu mengambil peran utama sebagai leading sector dengan menetapkan kebijakan pendampingan ibu menyusui yang terintegrasi dalam seluruh rangkaian pelayanan, mulai dari pemeriksaan kehamilan, persalinan, hingga masa nifas dan menyusui.
Pendampingan ini tidak boleh bersifat seremonial, melainkan menjadi bagian standar layanan kesehatan ibu dan anak, didukung oleh media konseling yang tepat, mudah dipahami, dan relevan dengan kondisi ibu di lapangan, baik media digital maupun media visual sederhana.
Program edukasi menyusui perlu dilaksanakan secara berkelanjutan, tidak berhenti pada penyuluhan satu kali atau pembagian materi cetak semata. Edukasi yang efektif harus berupa pendampingan berkesinambungan, dengan mekanisme tindak lanjut yang jelas ketika ibu menghadapi masalah menyusui di kehidupan sehari-hari.
Upaya ini akan lebih kuat jika dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor dan kemitraan strategis dengan organisasi profesi dan komunitas yang selama ini aktif mendampingi ibu menyusui.
Organisasi seperti Perkumpulan Perinatologi Indonesia (PERINASIA), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI), Komunitas Konselor Menyusui Indonesia (KKMI), Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), serta berbagai komunitas lokal memiliki pengalaman langsung dan kedekatan dengan ibu di akar rumput.
Kolaborasi ini penting untuk memastikan kebijakan tidak hanya kuat di tingkat nasional, tetapi juga hidup dan bekerja di tingkat komunitas.
Pemerintah daerah perlu memastikan puskesmas dan posyandu memiliki tenaga terlatih, sistem pendampingan yang jelas, serta ketersediaan media edukasi yang memadai.
Disaat yang sama, fasilitas pelayanan kesehatan harus menjadikan pendampingan menyusui sebagai standar pelayanan, dan dunia kerja perlu menciptakan lingkungan yang ramah bagi ibu menyusui agar kebijakan tidak terhenti ketika ibu kembali bekerja.
Pendampingan tidak cukup berupa poster atau imbauan singkat, tetapi harus hadir melalui komunikasi yang berkelanjutan, media edukasi yang mudah dipahami, dan dukungan nyata ketika ibu menghadapi kesulitan.
Ketika kebijakan benar-benar dijalankan secara konsisten, ASI eksklusif tidak lagi menjadi target angka semata, melainkan hak yang benar-benar dirasakan oleh setiap ibu dan bayi. Mendampingi ibu merupakan investasi bagi masa depan generasi bangsa. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang tidak boleh dibebankan pada ibu seorang diri.
Penulis: Nuraini Fauziah I Konselor Menyusui; Dosen Promosi Kesehatan, Politeknik Negeri Madura. Mahasiswa Doktoral (S3) Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia


