UU Cipta Kerja: Solusi Investasi atau Ancaman untuk Buruh?

Ilustrasi: SindoNews

Jakarta, Essensi.co – Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah serikat buruh dan aktivis menggelar aksi protes di berbagai kota besar di Indonesia.

Meski pemerintah menyatakan bahwa UU ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan mempercepat investasi, banyak pihak menilai kebijakan ini justru mengancam hak-hak dasar buruh.

Klaim Pemerintah: Investasi dan Lapangan Kerja

Pemerintah sejak awal menekankan bahwa UU Cipta Kerja hadir untuk menyederhanakan regulasi, mempermudah izin usaha, dan menarik investor. Dalam penjelasannya, pemerintah menganggap peningkatan investasi akan otomatis menciptakan lebih banyak lapangan kerja, khususnya bagi masyarakat usia produktif.

“Kita butuh lapangan kerja yang luas dan cepat. Omnibus Law ini bagian dari solusi mempercepat pemulihan ekonomi nasional,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pekan lalu.

Kritik Serikat Buruh: Banyak Hak Dihapus

Di sisi lain, berbagai serikat buruh menyuarakan kekhawatiran bahwa UU ini justru memperlemah perlindungan tenaga kerja. Beberapa poin yang menjadi sorotan utama:

  • Penghapusan batasan kontrak kerja dan outsourcing
    Dinilai membuat buruh semakin tidak memiliki kepastian kerja jangka panjang.

  • Ketentuan pesangon yang dikurangi
    Membuat posisi buruh semakin rentan jika terkena PHK.

  • Waktu kerja fleksibel tanpa kejelasan lembur
    Potensi eksploitasi meningkat karena jam kerja tak lagi diatur secara ketat.

“UU ini lebih menguntungkan pengusaha besar. Kami hanya diminta bekerja lebih keras, tapi tanpa jaminan yang layak,” ujar Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Dampak di Lapangan: Fleksibilitas atau Ketidakpastian?

Sejumlah perusahaan memang telah menggunakan kelonggaran aturan baru untuk menambah tenaga kerja kontrak. Beberapa pelaku industri menyambut baik fleksibilitas tersebut karena dianggap lebih sesuai dengan kebutuhan bisnis saat ini.

Namun bagi pekerja, kondisi ini justru membuat masa depan mereka semakin tidak menentu, terutama di sektor manufaktur, jasa, dan logistik.

Lusi (32), seorang pekerja di pabrik tekstil di Karawang, mengaku sudah tiga kali berpindah kontrak kerja dalam 2 tahun terakhir.

“Kami kerja full time, tapi statusnya tetap kontrak. Gaji naik susah, pesangon juga belum jelas,” ujarnya.

Revisi UU dan Perdebatan Panjang

Setelah Mahkamah Konstitusi pada 2021 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, pemerintah melakukan perbaikan dan kembali menetapkannya pada 2023. Namun, substansi utama yang diprotes buruh tetap dipertahankan.

Pro dan kontra pun terus berlangsung, bahkan hingga hari ini.

Pengamat: Perlu Evaluasi Berbasis Dampak

Pengamat ketenagakerjaan Tulus Abadi menyebut bahwa kebijakan sebesar UU Cipta Kerja harus terus dievaluasi, bukan hanya berdasarkan asumsi ekonomi, tapi berdasarkan dampak nyata bagi para pekerja.

“Kalau tujuannya untuk rakyat, maka ukuran keberhasilan bukan hanya jumlah investasi masuk, tapi kualitas hidup buruh itu sendiri,” tegasnya.