Pojokampus: Ketika Suara Mahasiswa Dibungkam
“Represi terhadap ekspresi menjadi wajah buram demokrasi lokal di Bekasi.”
Kebebasan berpendapat dan berekspresi bukan sekadar hak dalam demokrasi—ia adalah fondasi. Tapi di Kabupaten Bekasi, fondasi itu mulai retak.
Sekelompok mahasiswa yang menyuarakan kritik melalui gambar kini menghadapi intimidasi dan tekanan, terutama dari organisasi masyarakat yang berada dalam orbit kekuasaan.
Kritik disampaikan lewat simbol visual yang menyentil, bukan menyerang. Namun respons yang datang tak proporsional.
Bukannya dijawab dengan klarifikasi atau diskusi terbuka, kritik itu dibalas dengan stigma, pelabelan, dan ancaman. Mahasiswa yang mestinya dilindungi sebagai bagian dari denyut demokrasi, justru diperlakukan seperti pengacau.
Gejala seperti ini bukan baru. Di banyak daerah, ruang-ruang kritis kian disumbat. Loyalitas politik berganti rupa menjadi pembenaran represi.
Ormas berubah fungsi: dari wadah partisipasi publik menjadi alat pendisiplin kritik. Ketika gambar dijadikan alasan untuk mengintimidasi, ketika ekspresi dianggap pelanggaran, yang terancam bukan satu kelompok mahasiswa, melainkan masa depan demokrasi itu sendiri.
Pemerintah daerah, khususnya Bupati Bekasi, tak bisa tinggal diam. Diam berarti membenarkan. Kekuasaan tak boleh alergi terhadap kritik, apalagi jika disampaikan secara sah dan terbuka.
Kepemimpinan yang sehat tumbuh dari keberanian mendengar yang tak menyenangkan, bukan dari ketakutan dikoreksi.
Ormas pun perlu kembali ke rel semestinya. Demokrasi bukan monolog, dan tidak bisa dibela dengan cara membungkam. Jika suara anak muda dipaksa diam, kelak tak akan ada lagi yang bicara saat yang lain terinjak.
Kita semua berkepentingan menjaga ruang ekspresi tetap hidup. Mahasiswa bukan musuh. Kritik bukan makar. Dan diam, hari ini, bisa berarti bersekongkol dengan ketidakadilan.