Mei Berdarah: Luka Kolektif dari Rezim yang Enggan Mengaku

Catatan kelam hingga kerusuhan bulan Mei sepanjang orde baru. Foto: Historia

Di balik langit cerah bulan Mei, sejarah Indonesia menyimpan luka yang belum dijahit. Di masa Orde Baru, bulan Mei tidak hanya menandai pergantian musim atau hari-hari biasa, tetapi menjadi momen pengingat atas serangkaian tragedi kemanusiaan yang berulang—dan seringkali dilupakan oleh negara.

Bulan Mei menjadi saksi sejumlah tragedi berdarah sepanjang pemerintahan Orde Baru (1966–1998), mulai dari operasi militer, pembungkaman kritik, penghilangan paksa, hingga puncaknya kerusuhan Mei 1998.

Berbagai insiden itu tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari pola kekerasan sistematis yang dijalankan untuk menjaga stabilitas semu kekuasaan.

Beberapa tragedi besar yang terjadi di bulan Mei antara lain:

  • Mei 1984: Penembakan misterius (Petrus) yang korbannya dibuang begitu saja di jalanan kota besar.

  • Mei 1993: Tindakan represif terhadap warga Lampung dalam peristiwa Talangsari (meski insiden puncaknya Februari, penangkapan massal dan penyiksaan berlanjut hingga Mei).

  • Mei 1998: Kerusuhan massal, penjarahan, kekerasan seksual, dan penembakan mahasiswa di Jakarta yang mengantarkan kejatuhan Soeharto.

Kota-kota besar seperti Jakarta, Solo, Medan, dan Lampung menjadi lokasi tragedi-tragedi tersebut, menunjukkan bahwa kekerasan bukan hanya insidental, tetapi meluas secara geografis.

 

Dalam sebagian besar kasus, pelaku kekerasan adalah aparat negara atau kelompok sipil yang diduga dimobilisasi secara sistematis.

Sementara itu, korban mencakup mahasiswa, warga sipil, etnis minoritas (khususnya Tionghoa), aktivis, dan siapa pun yang dianggap mengancam “stabilitas nasional”.

Rezim Orde Baru dibangun di atas prinsip kontrol dan kekuasaan. Dalam kerangka itu, kritik dianggap ancaman, dan rakyat yang melawan dianggap musuh negara.

Bulan Mei, yang kebetulan sering menjadi momentum politik dan ekonomi penting, menjadi ladang represi terhadap suara-suara yang mulai menggeliat.

Ribuan korban jiwa, penghilangan paksa, trauma kolektif, serta hilangnya rasa aman menjadi konsekuensi dari kekerasan sistematis ini. Lebih parahnya, negara belum sepenuhnya mengakui, apalagi memulihkan, luka-luka tersebut secara adil.

Sejumlah penyelidikan mandek, pelaku tidak pernah diadili, dan para korban serta keluarganya masih menunggu keadilan.

Tragedi bulan Mei selama Orde Baru adalah cermin dari kekuasaan yang tidak hanya menindas, tetapi juga menolak bertanggung jawab.

Selama negara belum mengakui dan menuntaskan luka-luka itu, kita akan terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang belum selesai.