Marsinah: Suara yang Dibungkam, Perlawanan yang Abadi!
Di tengah gegap gempita peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, satu nama kembali menggema, Marsinah.
Bukan sekadar simbol perlawanan, Marsinah adalah wajah keberanian buruh Indonesia yang suaranya masih hidup meski jasadnya telah lama dibungkam oleh kekuasaan yang menindas.
Marsinah adalah buruh pabrik arloji di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tewas secara misterius pada tahun 1993 usai memperjuangkan hak-hak rekan kerjanya.
Dia menolak diam ketika upah layak dirampas, dan menolak tunduk saat intimidasi menjadi alat kekuasaan. Ia memilih berdiri, dan karenanya ia dibunuh.
Hari ini, lebih dari tiga dekade kemudian, suara yang hendak dibungkam itu justru menjadi gelombang kesadaran.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di Monas, Kamis (1/5/2025), menyatakan dukungannya agar Marsinah diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Sebuah pernyataan yang dinilai banyak pihak sebagai langkah simbolis penting dalam rekonsiliasi sejarah kelam buruh Indonesia.
“Kita tidak boleh melupakan mereka yang telah berkorban untuk keadilan dan kemanusiaan. Marsinah adalah salah satunya,” ujar Presiden Prabowo di hadapan ribuan buruh dan aktivis.
Namun, dukungan itu tak serta-merta memulihkan luka. Sebab, hingga kini, pelaku pembunuhan Marsinah belum benar-benar diadili secara terbuka dan adil.
Komnas HAM sendiri pernah menyatakan bahwa kasus Marsinah adalah pelanggaran HAM berat, namun proses hukum mandek di tengah jalan.
Marsinah adalah representasi dari buruh-buruh perempuan yang kerap dipinggirkan, digaji rendah, bekerja di bawah tekanan, dan kerap menjadi korban kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Ia bukan hanya korban sistem, tapi juga saksi bagaimana negara abai pada suara yang lemah.
Kini, gelar Pahlawan Nasional yang digaungkan tak hanya menjadi soal penghargaan negara. Ia adalah pengakuan bahwa perjuangan Marsinah sah dan layak dikenang.
Lebih jauh, gelar ini juga menjadi harapan baru bagi para buruh muda bahwa suara mereka tak sia-sia, bahwa keadilan mungkin untuk diperjuangkan — bahkan ketika nyawa jadi taruhan.
Dalam era digital, perjuangan buruh mungkin tak lagi berlangsung di pabrik-pabrik gelap, melainkan di ruang virtual dan platform kerja fleksibel yang belum sepenuhnya berpihak pada pekerja.
Namun semangat Marsinah tetap relevan, melawan ketimpangan, memperjuangkan keadilan, dan membela hak-hak yang sering dipinggirkan.
Semakin banyak generasi muda yang kini mengenal kisahnya, tak sekadar lewat buku sejarah, tetapi melalui film dokumenter, mural jalanan, dan media sosial. Marsinah telah menjadi narasi perlawanan lintas zaman.
Marsinah memang dibungkam, tetapi suaranya kini ada di mana-mana — di setiap seruan upah layak, di setiap tuntutan cuti haid, dan di setiap kampanye anti eksploitasi.
Gelar Pahlawan Nasional hanyalah permulaan. Sebab bagi banyak orang, Marsinah sudah lama menjadi pahlawan — bahkan sebelum negara mengakuinya.