Ruang Bersuara

Ekologi Menghasilkan Ekonomi, Tapi Ekonomi Belum Tentu Menghasilkan Ekologi

Pariwisata bahari di Raja Ampat tidak sekadar menjual pemandangan indah. Foto: Unsplash.com/Simon Spring

RAJA AMPAT, PAPUA BARAT DAYA – kita bisa belajar satu pelajaran penting tentang masa depan pembangunan Indonesia: ekologi yang sehat mampu menghasilkan ekonomi yang berkelanjutan, tetapi tidak semua aktivitas ekonomi akan menjaga – apalagi memperkuat – ekologi.

Raja Ampat adalah kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Lebih dari 75 persen spesies karang dunia hidup di perairan ini. Ribuan spesies ikan, mamalia laut, dan ekosistem pesisir yang unik menjadikan Raja Ampat sebagai destinasi ekowisata unggulan Indonesia. Di sinilah kita melihat bahwa alam yang lestari justru menopang ekonomi lokal.

Pariwisata bahari di Raja Ampat tidak sekadar menjual pemandangan indah. Ia menghidupkan ribuan keluarga. Setiap tahun, sektor ini menyumbang sekitar Rp 300-400 miliar bagi pendapatan daerah. Perikanan tradisional yang ramah lingkungan juga menjadi sumber penghidupan penting bagi masyarakat pesisir. Semua itu bergantung pada satu hal: ekosistem laut yang sehat.

Namun, beberapa tahun terakhir, prinsip dasar ini justru diabaikan dalam kebijakan pembangunan. Kasus pemberian izin pertambangan nikel di Pulau Kawe adalah contohnya. Di sebuah pulau yang menjadi bagian dari wilayah adat, yang memiliki ekosistem hutan dan pesisir yang penting, pemerintah justru membuka peluang bagi aktivitas tambang yang berisiko merusak ekologi secara permanen.

terumbu karang, pencemaran laut, hingga gangguan terhadap habitat ikan adalah ancaman nyata. Semua ini berdampak langsung pada sektor pariwisata dan perikanan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Raja Ampat.

Ironisnya, keuntungan dari tambang justru terpusat di tangan segelintir pihak. Sementara itu, masyarakat lokal yang selama ini menjaga alam terpaksa menanggung risiko dan kerugian. Bila kerusakan ekologi terjadi, bukan hanya kekayaan hayati yang hilang. Ekonomi lokal yang selama ini bergantung pada ekosistem laut akan runtuh.

Paradoks ini bukan hanya terjadi di Raja Ampat. Di banyak wilayah Indonesia, kita melihat pola serupa: ekologi dirusak atas nama pembangunan ekonomi, padahal kerusakan itu justru mengancam keberlanjutan ekonomi itu sendiri. Inilah bentuk pembangunan yang cacat secara logika dan moral.

Ada tiga prinsip penting yang seharusnya menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan pembangunan, terutama di kawasan dengan sensitivitas ekologis tinggi seperti Raja Ampat.

Pertama, pembangunan ekonomi harus berbasis ekologi. Artinya, kelestarian ekosistem menjadi syarat mutlak bagi pengembangan ekonomi. Di Raja Ampat, ekowisata dan perikanan berkelanjutan jauh lebih bernilai daripada keuntungan sesaat dari pertambangan.

Kedua,  masyarakat  adat  harus  menjadi  pengambil  keputusan  utama  dalam  pengelolaan wilayahnya. Mereka bukan hanya pemilik hak ulayat, tetapi juga penjaga ekosistem yang telah terbukti efektif. Kebijakan yang mengabaikan suara masyarakat adat adalah bentuk kolonialisme baru atas nama pembangunan.

Ketiga, perlu ada keberanian politik untuk menegakkan moratorium aktivitas ekonomi merusak di kawasan sensitif. Raja Ampat bukan tempat yang tepat untuk pertambangan. Potensi ekonomi masa depannya ada pada model pembangunan yang ramah lingkungan, bukan eksploitasi ekstraktif.

Pencabutan sebagian izin tambang di Pulau Kawe, setelah tekanan dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan, adalah langkah positif. Namun, ini belum cukup. Harus ada komitmen yang lebih kuat, baik di tingkat daerah maupun nasional, untuk melindungi Raja Ampat secara utuh dari ancaman serupa.

Indonesia sering berbangga dengan kekayaan hayatinya di forum internasional. Tapi kebanggaan saja tidak cukup. Harus ada keberanian untuk berkata tidak pada model pembangunan yang justru menghancurkan modal ekologi kita sendiri

Raja Ampat adalah cerminan masa depan pembangunan Indonesia: apakah kita memilih jalan keberlanjutan, atau terus mengulang pola lama yang akhirnya menghancurkan sumber daya yang kita warisi.

Ekologi adalah fondasi sejati ekonomi. Kita hanya bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan jika kita menjaga ekosistem yang menopangnya. Jangan sampai kita belajar pelajaran itu dengan cara yang paling mahal – saat ekosistem itu sudah hilang.